Minggu, 28 Februari 2016

Orang-Orang yang Celaka dan Lalai


“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati “ (Ali Imran: 185) Orang yang celaka adalah orang yang merasakan neraka setelah kematiannya.Orang yang lalai adalah orang yang menasihatkan manusia, namun dia lupa dengan nasib dirinya sendiri

@d_alshamrani – Dr. Shoolih Asy-Syamrooniy adalah salah satu doktor dan staf pengajar fiqh di Universitas Ummul Quro, Makkah al-Mukarromah, KSA

Via twitulama.com

Minggu, 21 Februari 2016

Hukum Menggambar Dalam Islam (part II) - selesai

sambungan dari Hukum Gambar - Part I

Gambar terbagi menjadi 2:

1. Yang mempunyai roh. Ini terbagi lagi menjadi dua:


A. Yang 3 dimensi. Ini terbagi menjadi dua:

Pertama: Gambar satu tubuh penuh.
Jika bahan pembuatnya tahan lama -seperti kayu atau batu atau yang semacamnya-, maka hampir seluruh ulama menyatakan haramnya secara mutlak, baik ditujukan untuk disembah maupun untuk selainnya. Sementara dinukil dari Abu Said Al-Ashthakhri Asy-Syafi’i bahwa dia berpendapat: Gambar 3 dimensi hanya haram dibuat jika ditujukan untuk ibadah. Akan tetapi itu adalah pendapat yang lemah.
Adapun yang bahan bakunya tidak tahan lama, misalnya dibuat dari bahan yang bisa dimakan lalu dibentuk menjadi gambar makhluk, seperti coklat, roti, permen, dan seterusnya. Yang benar dalam masalah ini adalah jika dia dibuat untuk dipasang atau digantung maka itu diharamkan. Akan tetapi jika dia dibuat untuk dimakan atau dijadikan mainan anak maka tidak mengapa karena itu adalah bentuk menghinakannya, dan akan diterangkan bahwa mainan anak-anak dikecualikan dari hukum ini.
Kemudian, di sini ada silang pendapat mengenai mainan anak-anak, apakah diperbolehkan atau tidak. Ada dua pendapatdi kalanganulama:
Pertama: Boleh. Ini adalah mazhab Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan yang diamalkanoleh kebanyakan ulama belakangandari mazhab Ahmad. Dan inilah pendapatyang lebih tepat.
Mereka berdalil dengan hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata:
ﻛُﻨْﺖُ ﺃَﻟْﻌَﺐُ ﺑِﺎﻟْﺒَﻨَﺎﺕِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻟِﻲ ﺻَﻮَﺍﺣِﺐُ ﻳَﻠْﻌَﺒْﻦَ ﻣَﻌِﻲ ﻓَﻜَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺇِﺫَﺍ ﺩَﺧَﻞَ ﻳَﺘَﻘَﻤَّﻌْﻦَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻴُﺴَﺮِّﺑُﻬُﻦَّ ﺇِﻟَﻲَّ ﻓَﻴَﻠْﻌَﺒْﻦَ ﻣَﻌِﻲ
“Aku pernah bermain dengan(boneka) anak-anak perempuandi dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan aku mempunyai teman-teman yang biasa bermain denganku. Apabila Rasulullah shallaallahu’alaihi wa sallammasuk, mereka bersembunyi dari beliau. Sehingga beliau memanggil mereka supaya bermain bersamaku.” (HR. Al-Bukhari no. 5665 dan Muslim no. 4470)
Pendapat kedua: Tetap tidak diperbolehkan. Ini adalah Mazhab Ahmad dan pendapat dari sekelompok ulama Malikiah dan Syafi’iyah. Pendapat ini juga dinukil dari Ibnu Baththal, Ad-Daudi, Al-Baihaqi, Al-Hulaimi, dan Al-Mundziri.
Catatan:
Perbedaan pendapatmengenai mainan anak 3 dimensi yang dinukil dari para ulama salaf hanya berkenaandengan mainan yang dibuat dari benang wol, kain, dan semacamnya. Adapun mainan yang terbuat dari plastik -seperti pada zaman ini-, maka para ulama belakangan juga berbeda pendapat tentangnya:
1. Diharamkan. Yang dikenal berpendapatdenganpendapatini adalah Asy-Syaikh Muhammadbin Ibrahim rahimahullah.
2. Boleh, dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama di zaman ini, dan inilah insya Allah pendapatyang lebih tepat.

Kedua: Jika gambarnya hanya berupa sebagian tubuh. Ini juga terbagi dua:
1. Yang tidak ada adalah kepalanya. Hukumnya adalah boleh karena dia tidak lagi dianggapgambar makhluk bernyawa. Ini adalah pendapatseluruh ulama kecuali Al-Qurthubi dari mazhab Al-Maliki dan Al-Mutawalli dari mazhab Asy-Syafi’i, dan keduanya terbantahkan denganijma’ ulamayang sudah ada sebelumkeduanya.
2. Yang tidak ada adalah selain kepalanya, dan ini juga ada dua bentuk:
a. Jika yang tidak ada itu tidaklah membuat manusia mati, misalnya gambarnya seluruh tubuh kecuali kedua tangan dan kaki. Karena manusia yang tidak mempunyai tangan dan kaki tetap masih bisa hidup. Hukum bentuk seperti ini sama seperti hukum gambar satu tubuh penuh yaitu tetap dilarang.
b. Jika yang tidak ada itu membuat manusia mati, misalnya gambar setengah badan. Karena manusia yang terbelah hingga dadanya tidak akan bisa bertahan hidup. Maka gambar seperti ini boleh karena diikutkan hukumnya kepada gambar makhluk yang tidak bernyawa. Ini merupakan mazhab Imam Empat.


B. Yang 2 dimensi. Yang dua dimensi terbagi lagi menjadi 2:

Pertama: Yang dibuat dengan tangan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung seperti menggambar melalui komputer tapi tetap dengan tangan (misalnya denganmemegang mouse) . Ini terbagi juga menjadi dua:
1. Gambarnya tidak bergerak, maka ini juga ada dua bentuk:
• Gambar satu tubuh penuh. Ada dua pendapat besar di kalangan ulama mengenai hukumnya:
a. Haram secara mutlak. Ini adalah riwayat yang paling shahih dari Imam Ahmad, salah satu dari dua sisi dalam mazhab Abu Hanifah, dan sisi yang paling shahih dalam mazhab Asy-Syafi’i.
b. Haram kecuali yang dibuat untuk direndahkan dan dihinakan atau yang dijadikan mainan anak. Ini adalah sisi yang lain dalammazhab Hanabilah dan Asy-Syafi’iyah, sisi yang paling shahih dalam mazhab Abu Hanifah, dan yang baku dalam mazhab Malik.
Mereka berdalil dengan hadits Aisyah radhiallahu anha berkata: Rasulullah masuk ke rumahku sementarasaya baru saja menutup rumahkudengan tirai yang padanya terdapat gambar-gambar. Tatkala beliau melihatnya, maka wajah beliau berubah (marah) lalu menarik menarik tirai tersebut sampai putus. Lalu beliau bersabda:
ﺇِﻥَّ ﻣِﻦْ ﺃَﺷَﺪِّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻋَﺬَﺍﺑًﺎ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺸَﺒِّﻬُﻮﻥَ ﺑِﺨَﻠْﻖِ ﺍﻟﻠَّﻪِ
“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya padahari kiamat adalah mereka yang menyerupai penciptaan Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 5525 dan ini adalah lafazhnya)
Dalam riwayat Muslim:
ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﻧَﺼَﺒَﺖْ ﺳِﺘْﺮًﺍ ﻓِﻴﻪِ ﺗَﺼَﺎﻭِﻳﺮُ ﻓَﺪَﺧَﻞَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓَﻨَﺰَﻋَﻪُ ، ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻓَﻘَﻄَﻌْﺘُﻪُ ﻭِﺳَﺎﺩَﺗَﻴْﻦِ
“Dia (Aisyah) memasang tirai yang padanya terdapat gambar-gambar, maka Rasulullahmasuk lalu mencabutnya. Dia berkata, “Maka saya memotong tirai tersebut lalu saya membuat dua bantaldarinya.”
Maka hadits ini dan yang semisalnya menunjukkanbahwa selama gambar tersebut tidak dipasang dan tidak juga digantung maka dia sudah dikatakan ‘mumtahanah’ (direndahkan/
dihinakan).
• Adapun gambar dua dimensi yang tidak satu tubuh penuh (misalnya setengah badan), maka perincian dan hukumnya sama seperti pada pembahasan gambar3 dimensi, demikian pula pendapat yang rajih di dalamnya.

2. Jika gambar dengan tangan ini bergerak, atau yang kita kenal dengan kartun. Yaitu dimana seseorang menggambar beberapa gambar yang hampir mirip, lalu gambar-gambar ini ditampilkan secara cepat sehingga seakan-akan dia bergerak.
Hukumnya sama seperti gambar yang tidak bergerak di atas, karena hakikatnya dia tidak bergerak akan tetapi dia hanya seakan-akan bergerak di mata orang yang melihatnya.
Kedua: Yang dibuat dengan alat, baik gambarnya tidak bergerak seperti foto maupun bergerak seperti yang ada di televisi.
Ini termasuk masalah kontemporer karena yang seperti ini belum ada bentuknya di zaman para ulama salaf. Gambar dengan kamera dan semacamnya ini baru muncul pada tahun 1839 M yang pertamakali diperkenalkan oleh seorang berkebangsaan Inggris yang bernama William Henry Fox.

Ada dua pendapatdi kalangan ulama belakangan berkenaandengan hal ini:

Pendapat pertama: Diharamkan kecuali yang dibutuhkan dalamkeadaan terpaksa, seperti foto padaKTP, SIM, Paspor, dan semacamnya. Ini adalah pendapatmasyaikh: Muhammadbin Ibrahim, Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazzaq Afifi, Al-Albani, Muqbil bin Hady, Ahmad An-Najmi, Rabi’ bin Hadi, Saleh Al-Fauzan, dan selainnya rahimahumullah.
Para ulama ini berdalil dengan 5 dalil akan tetapi semuanya tidak jelas menunjukkanharamnya gambar dengan alat ini.

Pendapat kedua: Boleh karena yang dibuat dengan alat bukanlah merupakan gambar hakiki, karenanya dia tidak termasuk ke dalam dalil-dalil yang mengharamkan gambar. Ini adalah pendapat masyaikh: Muhammadbin Saleh Al-Utsaimin, Abdul Aziz bin Abdillah Alu Asy-Syaikh, Abdul Muhsin Al-Abbad, dan selainnya rahimahumullah.
Para ulama ini berdalil dengan 3 dalil akan tetapi hakikatnya hanya kembali kepada 1 dalil yaitu bahwa gambar dengan alat bukanlah gambar hakiki.
Kami sengaja tidak membawakan dalil-dalil tiap pendapatkarena ini hanyalah pembahasan ringkas dan hanya untuk merinci masalah dalam hal ini. Ala kulli hal, pendapat yang lebih tepat menurut kami adalah pendapat yang kedua, yaitu yang berpendapat bahwa gambar dengan alat tidaklah diharamkan pada dasarnya, kecuali jika dia disembah selain Allah atau dia dipasang atau digantung yang merupakan bentuk pengagungankepada gambar dan menjadi wasilah kepada kesyirikan wallahu a’lam.
Pendapat ini kami pandang lebih kuat karena pada dasarnya gambar dengan alat bukanlah ‘shurah’ secara bahasa. Hal itu karena ‘shurah’ (gambar) secara bahasa adalah ‘at-tasykil’ yang bermakna membentuk sebuah ‘syakl’ (bentuk) atau ‘at-tashwir’ yang bermakna menjadikan sesuatu di atas bentuk atau keadaan tertentu
Jadi ‘shurah’ yang hakiki secara bahasa mengandungmakna memunculkan atau mengadakan zat yang tidak ada sebelumnya. Dan makna inilah yang ditunjukkan dalam Al-Qur`an, seperti padafirman-Nya:
ﻭَﺻَﻮَّﺭَﻛُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺣَﺎﻡِ ﻛَﻴْﻒَ ﻳَﺸَﺎﺀُ
“Dan Dia membentukkalian di dalam rahim sesuai dengan kehendak-Nya.”
Juga padafirman-Nya:
ﻓِﻲ ﺃَﻱِّ ﺻُﻮْﺭَﺓٍ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﺭَﻛَّﺒَﻚَ
“Pada bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia membentuk kalian.”
Sementara gambar fotografi tidaklah mengandung makna ‘shurah’ yang kita sebutkan di atas. Karena gambar fotografi bukanlah memunculkan suatu zat/bentuk yang tidak ada sebelumnya, akan tetapi gambar fotografi hanyalah kebalikan dari benda aslinya.
Hal ini bisa kita pahami dengan memahami prinsip kerja kamera yaitu sebagai berikut:
Kamera terdiri dari lensa cembungdan film, jika dia menerima cahaya (dalam hal ini cahaya berbentuk objek yang dipotret), maka lensa ini akan memfokuskan cahaya tersebut, dimana hasilnya adalah berupa bayangan yang terbalik yang bisa ditangkap oleh layar. Bayangan ini terekam dalam film yang sensitif terhadap cahaya.
Untuk membuktikan hal ini, kita bisa mengambil sebuah lensa cembung (lup). Kita hadapkan lup ini menghadap keluar jendela yang terbuka. Lalu kita letakkan selembar kertas putih di belakang lup tersebut, maka kita pasti akan melihat sebuah bayangan pemandangan luar jendela di kertas putih tadi akan tetapi posisinya terbalik.
Setelah kita memahami prinsip kerja kamera, maka kita tidak akan mendapati makna ‘shurah’ di dalamnya. Yang menjadi ‘shurah’ hakiki dalam kasus di atas adalah cahaya (berbentuk benda) yang datang menuju lensa kamera, sementara cahaya ini yang mengadakan dan membentuknya adalah Allah Ta’ala, bukan kamera dan bukan pula sang fotografer. Kamera sendiri hanya membalik bayangan yang datang tersebut dan kamera ini dioperasikan oleh fotografer.
Sekarang akan muncul pertanyaan: Apakah proses membalik cahaya benda dianggap sebagai ‘shurah’ atau gambar?
Jawabannya: Tidak, dia bukanlah ‘shurah’. Karena ‘shurah’ tidak mungkin ada kecuali ada ‘mushawwir’ (penggambar)dan orang ini harus punya kemampuan menggambar. Sementara membalik cahaya bisa terjadi walaupun tidak ada mushawwir atau orang yang melakukannya tidak paham menggambar. Misalnya: Seseorang berdiri di depan cermin atau air sehingga terlihat bayangannya. Maka bayangan ini hanyalah kebalikan dari benda aslinya, orang yang berdiri tidak melakukanapa-apa, tidak menyentuh apa-apa, bahkan mungkin dia adalah orang yang tidak bisa menggambarsama sekali. Karenanya tidak ada seorang pun yang menamakan bayangan di cermin sebagai ‘shurah’ (gambar), baik secara bahasa maupun secara urf (kebiasaan)
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin memperumpamakan hal ini seperti memfoto kopi sebuah buku, karena huruf-huruf yang ada di dalam hasil foto kopian adalah hasil tulisan pemilik buku, bukan hasil tulisan orang yang mengoperasikan foto kopi dan bukan bula tulisan dari foto kopi tersebut.
Demikian penjelasannya secara ringkas, wallahu a’lam bishshawab.


Catatan:

Ketika kita katakan bahwa gambar 2 dimensi dengan alat bukanlah gambar secara hakiki, maka itu tidaklah mengharuskan bolehnya menggantung foto-foto karena hal itu bisa menjadi sarana menuju pengagungan yang berlebihan kepada makhluk yang hal itu merupakan kesyirikan.


2. Yang tidak mempunyai roh. Terbagi menjadi:

a. Yang tumbuh seperti tanaman.
Hukumnya boleh berdasarkan pendapat hampir seluruh ulama.

b. Benda mati. Yang ini terbagi:
1. Yang bisa dibuat oleh manusia.
2. Yang hanya bisa dicipta oleh Allah seperti matahari

Hukum gambar yang tidak mempunyai roh dengan semua bentuknya di atas adalah boleh berdasarkan dalil-dalil yang telah kami sebutkan di sini. Karenanya para ulama sepakat akan bolehnya menggambarmakhluk yang tidak bernyawa.

Sebagai catatan terakhir kami katakan:
Di sini kami hanya menyebutkan hukum asal gambar dengan semua bentuknya, kami tidak berbicara mengenai hukum gambar dari sisi penggunaannya atau berdasarkan apa yang terdapat dalam gambar tersebut. Karena para ulama sepakat tidak boleh melihat aurat sesama jenis atau lawan jenis atau aurat yang bukan mahramnya atau melihat perkara haram lainnya, sebagaimana mereka sepakat tidak bolehnya melihat sesuatu (baik berupa gambar maupun selainnya) yang menyibukkan dan melalaikan dari ibadah, sebagaimana haramnya menggantung atau memasangsesuatu dengan tujuan diagungkan, baik dia berupa gambar maupun bukan. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
[Sumber bacaan: Mas`alah At-Tashwir oleh Dr. Abdul Aziz bin Ahmad Al-Bajadi, Bayan Tadhlil fii Fatwa Al-Umrani fii Jawaz At-Tashwir oleh Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri, Tahrim At-Tashwir oleh Asy-Syaikh Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiry, Hukmu At-Tashwir Al-Futughrafi oleh Walid bin Raasyid As-Saidan, Al-Ibraz li Aqwal Al-Ulama` fii Hukmi At-Tilfazh yang dikumpulkan oleh Luqman bin Abi Al-Qasim]

Rabu, 10 Februari 2016

Senin, 11 Januari 2016

Berkahnya Seseorang Bagi Sekitar

Manusia itu membawa berkah bagi sekitar. Ibnul Qayyim berkata, “Berkahnya seseorang ialah ia senantiasa mengajarkan kebaikan, dan menasihati orang-orang di sekelilingnya”. Aku berdoa kepada Allah agar menjadikanku dan kalian, sebagai manusia yang selalu memberi berkah dimanapun berada.
 – Dr. Umar Al Muqbil, dosen hadits di Fakultas Syari’ah Universitas Al Qashim, Wakil Ketua di Lembaga Ilmiah untuk Studi Al Qur’an, Saudi Arabia.
 
via twitulama.com