DUAPULUH KESALAHAN DALAM BERAQIDAH*)
(almanhaj.or.id)
Kondisi umat Islam sekarang ini sudah sedemikian memprihatinkan. Krisis
multi dimensi dalam tatanan kehidupan beragama semakin terasa. Sosok
muslim ideal yang sesuai dengan syariat telah ditinggalkan.
Kesalahan-kesalahan dalam pengamalan sehari-hari mereka tampilkan, baik
dalam bentuk lisan, amalan atau keyakinan. Dan lebih parah lagi mereka
tidak sadar bahwa bila telah melakukan suatu kesalahan.
Oleh karena itu kami akan mengangkat kesalahan-kesalahan umat Islam
dalam permasalahan aqidah yang telah menyebar dan begitu popoler di
masyarakat. Semoga kita bisa mengambil manfaat darinya.
1. Kesalahan Memahami Kalimat Lailahailallah
Ini merupakan kesalahan esensial di tengah masyarakat muslimin dewasa
ini. Mereka mencukupkan ( لا إله إلا الله) hanya di lisan saja tanpa
menyadari, bahwa kalimat tauhid ini menuntut perkara-perkara lain.
Diantara perkara-perkara yang dituntut adalah nafi dan itsbat.
Nafi maknanya ialah seseorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid ini
harus membuang semua bentuk peribadaatan kepada selain Allah
Makna itsbat adalah menetapkan semua bentuk-bentuk peribadatan hanya
kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Maksudnya adalah
pemurnian agama itu hanya untuk Allah dan kufur (mengingkari) terhadap
sesembahan selainNya. Berdasarkan firman Allah,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan),"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu.” [An-Nahl
36]
Oleh karena itu dalam melafazkan kalimat tauhid ini harus ada
konsekwensi yang mesti dipenuhi. Yaitu mengesakan Allah yang disertai
ketaatan dan ketundukan untuk melaksanakan perintahNya dan mejauhi
larangan-laranganNya. Bukan hanya sekedar beribadah kepada Allah k saja
tanpa diiringi dengan pengingkaran terhadap thagut.
2. Istihzaa’ (Memperolok) Perkara-Perkara Agama
Sebagai misal meperolok-olokkan masalah jenggot, jilbab, menaikkan
pakaian diatas mata kaki, Islam sudah tidak relevan dengan zaman kerena
membatasi kebebasan waanita, hukum waris dan lain sebagainya.
Ketahuilah, jika olok-olokan itu ditujukan kepada syariat maka, sungguh
dia telah menjadi kafir dan keluar dari ajaran agama Islam. Karena
menghina syariat berarti menghina pembuat syariat, yaitu Allah. Begitu
pula ia telah menghina Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam [2].
Berdasarkan dalil.
قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ . لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Katakanlah,"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu
berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah
beriman. [At-Taubah: 65-66]
Dan seandainya olok-olokkan itu ditujukan kepada orangnya (pelaku
syariat), maka dia termasuk orang yang fasiq dan sudah tergelincir di
tempat yang sangat berbahaya.
3. Ungkapan Sebagian Orang, “Ini sudah kehendak takdir”, atau, “Jika
zaman sudah berkehendak maka akan menjadi begini dan begini”.
Ini juga merupakan kesalahan yang harus segera ditinggalkan. Karena
zaman dan takdir tidak memiliki kehendak. Kehendak dan takdir kepunyaan
Allah. Perhatikanlah firman Allah.
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. [Al-Furqan: 2]
Termasuk sifat Allah adalah berbuat sesuai dengan kehendakNya. Tidak
akan pernah ada satu kejadianpun kecuali dengan iradahNya. Tidak akan
ada di alam ini satupun yang keluar dari ketentuan takdirNya, dan tidak
akan muncul kecuali karena takdirNya pula. Apa yang ditakdirkan tidak
akan pernah meleset. [3]
4. Perkataan yang masyhur dari kalangan ilmuwan atau pelajar yang
mempelajari ilmu Biologi, Kimia atau yang lain, “Partikel ini tidak
mungkin bisa hancur” atau “Tidak mungkin zat ini akan terbentuk” dan
ucapan-ucapan lain yang senada.
Mereka tidak sadar, bahwa ucapan termasuk bathil. Perlu diingat, semua
yang ada di alam ini asalnya tidak ada. Allahlah yang menciptakannya dan
semua makhluk pasti akan mengalami kehancuran atau kematian. Kemudian
Allah hidupkan pada saat yang lain sesuai dengan kehendak Allah.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa
diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun. [Al-Mulk : 2]
Jadi tidak ada satu makhlukpun yang hancur atau tercipta dengan
sendirinya. Adapun makhluk yang bakal Allah kekalkan adalah Syurga dan
Neraka disertai dengan kenikmatan atau adzab didalamnya, begitu juga
dengan penghuninya. Sedangkan yang lain akan mengalami kehancuran.
-tiap-tiap yang berjiwa pasti merasakan kematian
5. Mengeluh Dan Mencela Waktu.
Kesalahan seperti ini lebih banyak dilakukan oleh para penyair, seniman
dan sastrawan melalui karya-karyanya. Kemudian diikuti oleh masyarakat
umum sehingga menjadi suatu yang lumrah di kalangan masyarakat.
Contohnya, “Zaman telah menguasaiku” atau “Zaman telah berkhianat” atau
“Zaman telah gila” dan lain sebagainya. Untuk lebih jelas, perhatikanlah
penjelasan berikut ini.
Jika yang dimaksud hanya untuk memberikan tentang sifat suatu ‘zaman’,
maka hal itu diperbolehkan. Contoh, “Hari ini sangat panas” atau “sangat
dingin” dengan syarat tanpa disertai celaan, berdasarkan firman Allah
atas ucapan Luth Alaihissallam.
هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ
Ini adalah hari yang amat sulit.. [Huud : 77]
Jika celaan terhadap waktu diiringi dengan keyakinan bahwa ‘waktu’
adalah penentu terhadap berbagai kejadian (musibah dan bencana), maka
hal ini termasuk perbuatan syirik akbar (besar) karena berkeyakinan ada
kekuatan atau kekuasaan selain Allah. Berdasarkan dalil.
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَايَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ
Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. [Al-Faathir : 13]
Jika terjadi celaan terhadap waktu namun si pencela masih berkeyakinan
bahwa Allahlah pelakunya dan penentunya, maka hal ini termasuk larangan.
[4]. Dalilnya.
لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللَّهَ“ هُوَ الدَّهْرُ
Janganlah kalian mencela waktu karena sesungguhnya Allah itu adalah penentu waktu.
Maksudnya, Dialah Allah yang mengatur dan mengusai waktu (masa), berdasarkan dalil.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ
يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman, “Aku disakiti
oleh Anak Adam ia mencela waktu, Aku adalah pengatur waktu. Aku
membolak-balikkan siang dan malam. [HR. Muslim 5862]
Oleh karena itu kita harus meyakini bahwa kekuasaan mutlak hanya berada
di tangan Allah. Keyakinan yang sebenar-benarnya disertai dengan
membenarkan secara lisan dan amalan [5]
6. Ketika seseorang memperingatkan orang lain dengan sunnah terutama
yang menyangkut perkara yang zahir seperti, “Pakailah jilbab !” atau,
“Peliharalah janggutmu” atau, “Naikkanlah pakaianmu diatas mata kaki”,
maka dia akan menjawab, “Hal itu tidak penting karena taqwa itu
tempatnya di hati.”
Ketahuilah, bahwa jawaban itu merupakan jawaban yang benar, namun
dibalik jawaban itu terselubung niat yang bathil. Rasulullah juga pernah
mengatakannya, akan tetapi kapankah beliau mengucapkannya ? Beliau
mengucapkannya ketika memberikan nasehat kepada para shahabatnya agar
mereka berpegang teguh dengan adab-adab Islam. Beliau berkata.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا
وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ
بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا
يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci,
janganlah kalian saling bersaing, jangan saling bermusuhan, janganlah
membeli diatas pembelian orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah
yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, jangan
ia mendhalimi saudaranya, jangan mentelantarkannya, jangan menghinanya.
Taqwa tempatnya disini (Beliau mengisyaratkan ke dada tiga kali)
Cukuplah keburukan bagi seseorang yang dia meremehkan saudaranya sesama
muslim. Setiap muslim diharamkan kepada muslim yang lain darah, harta
dan kehormatannya. [Shahih Muslim 2564]
Begitulah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan
perkataan itu dalam perkara-perkara mu’amalah. Sedangkan pada diri orang
yang dinasehati tersebut jelaslah tidak menginginkan untuk mengamalkan
nasehat dan sunnah. Seandainya hal itu benar-benar ada pada hatinya.
Maka secara otomatis anggota tubuhnya akan tunduk dan segera
merealisasikan taqwa dalam bentuk amalan, sebagaimana yang dilakukan
oleh para shahabat ketika di nasehati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
7. Perkataan sebagian orang setelah terjadi satu kejadian yang tidak di
sukai, “Seandainya tadi ini yang dikerjakan tentu terjadi begini dan
begini”
Hal ini termasuk larangan karena berpaling dari takdir Allah Subhanahu
wa Ta'ala berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجَزْ وَإِنْ
أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا
وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ
عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Bersungguh-sungguhlah pada suatu yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah
kepada Allah dan janganlah merasa lemah ! Jika kamu tertimpa sesuatu,
janganlah kamu mengatakan, “Seandainya saya mengerjakan begini maka akan
terjadi begini” akan tetapi ucapkanlah, “Allah sudah mentakdirkan dan
apa yang Dia dikehendaki Allah pasti akan terjadi”. Sesungguhnya ucapan,
‘Seandainya’ akan membuka peluang syaithan.” [HR. Muslim]
Akan tetapi kadang timbul pertanyaan, “Apakah semua ucapan ‘Seandainya’
itu dilarang secara mutlak dalam semua permasalahan atau tidak ?”
Jawabnya adalah sebagai berikut:
a). Jika lafaz ‘seandainya’dimaksudkan sekedar pemberitahuan, maka hal
diperbolehkan. Misalnya, “Seandainya engkau datang, aku pasti akan
memuliakanmu !” atau “Seandainya aku tahu engkau ada pasti aku akan
mengunjungimu !”
b). Jika dimaksudkan untuk pengharapan terhadap perkara yang di
syari’atkan, maka hal itu dianjurkan bahkan disunnahkan. Contoh,
“Seandainya aku memiliki kemampuan, maka aku akan berhaji” atau
“Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan bershadaqah” Hal ini
berdasarkan kisah dua orang yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam yang masyhur.
إِنَّمَا الدُّنْيَا ِلأَرْبَعِ نَفَرٍ فَذَكَرَ رَجُلَيْنِ : رَجُلاً
أَتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَ رَجُلاً
لَمْ يُؤْتِهِ مَالاً لَكِنَّهُ يَقُوْلُ : لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ مَالِ
فُلاَنٍ لَفَعَلْتُ مِثْلَ مَا فََعَلَ قَالَ صلى الله عليه و سلم فَهُوَ
فِي اْلأَجْرِ سَوَاءٌ
Dunia ini hanya milik empat golongan. Kemudian Beliau menyebutkan dua
orang. Seseorang yang diberi harta oleh Allah k lalu ia menginfakkan
hartanya di jalan Allah, dan seseorang yang tidak diberi harta tetapi
dia berkata, “Seandainya aku memiliki harta seperti Fulan, sungguh aku
pasti beramal sebagaimana dia beramal. [Shahih Jami’ 3024]
c). Sikap mengeluh terhadap sesuatu yang telah terjadi. Maka hal ini terlarang berdasarkan hadits diatas.
8. Do’a yang diucapkan sebagian orang kepada sebagian yang lain, “Semoga
Allah memanjangkan umurmu” atau, “Semoga Allah mengekalkan
hari-harimu”.
Hal ini tidak diperbolehkan karena tidak akan pernah ada seorangpun yang kekal. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ . وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan. [Ar-Rahman : 26-27]
Jika ingin mendo’akan orang lain, ucapkanlah, “Semoga Allah memanjangkan
umurmu dalam ketaatan” karena hidup tidak akan berguna jika jauh daari
ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
9. Salah memahami ‘Ibadah’.
Sebagian orang menyangka bahwa ibadah hanya berkisar pada shalat, puasa,
zakat dan haji. Padahal ibadah itu mencakup seluruh cabang-cabang iman
yang jumlahnya sekitar tujuhpuluh lebih.
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً
فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ
الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيمَانِ
Iman itu ada 70 atau 60 cabang lebih. Yang paling afdhal adalah ucapan
laa ilaaha illaallaah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan
gangguan dari jalan. Malu termasuk cabang dari iman. [HR. Muslim]
Maka jelaslah, bahwa ibadah itu mencakup seluruh aspek kehidupan
meliputi aspek mu’amalah, perekonomian, dan persenjataan (yang sesuai
dengan syari’at)
10. Munculnya syubhat, “Terkadang kecanggihan teknologi bisa membantah nash (teks) dari Al-Qur’an maupun dari Hadits.”
Ketahuilah, wajib bagi seorang muslim berkeyakinan bahwa yang ada dalam
Al-Qur’an ataupun Hadits yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan
teknologi yang benar. Ini merupakan kenyataan yang wajib bagi kita untuk
mengimaninya dan membenarkan yang telah dijelaskan Allah dan RasulNya.
Misalnya, muncul keragu-raguan sebagian orang terhadap firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
وَيَعْلَمُ مَافِي اْلأَرْحَامِ
Dan Dia mengetahui apa-apa yang ada di dalam rahim. [Luqman : 34]
Berdasarkan ayat diatas, apa-apa yang ada di dalam rahim hanyalah Allah
yang mengetahuinya dan merupakan rahasiaNya. Namun kenyataannya (menurut
mereka), para dokter juga bisa mengetahui apa yang di rahim dengan
peralatan modern. Yaitu tentang jenis kelamin janin. Inilah salah satu
contoh syubhat yang bisa menggoyahkan keimanan.
Maka sebagai jawabannya adalah sebagai berikut. Lafazh “maa” pada ayat
tersebut termasuk lafaz yang bermakna umum. Artinya bisa mencakup semua
yang berkaitan dengan janin dalam ciptaannya. Bentuk, warna, panjang,
rizqi, amalan, keadaannya di dunia (sengsara atau bahagia), ajalnya dan
lain sebagainya. Berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ
يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ
مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ
بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ
وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ
Sesungguhnya salah seorang diantara kalian, dikumpulkan penciptaannya di
perut ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi segumpal
darah yang menggantung selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging
selama 40 har. Kemudian seorang Malaikat diutus kepada janin tersebut,
lalu ia meniupkan ruh dan diperintahkan dengan empat perkara yaitu
tentang rizkinya, ajalnya, amalannya dan celaka atau bahagia. [HR.
Bukhari]
Pengetahuan terhadap janin masuk dalam takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala
dan dokter tidak akan bisa mengetahuinya kecuali setelah diciptakan,
disempurnakan bentuknya, hampir keluar dari rahim ibunya. Bagaimana
sebelum itu, maka mereka tidak akan bisa mengetahuinya, walaupun
menggunakan alat yang canggih sekalipun. Oleh karena itu jelaslah bahwa
nash itu tidak akan bertentangan dengan teknologi yang benar.
11. Masyhurnya beberapa nama yang selayaknya di ganti karena mengandung
tazkiyah (penyucian) terhadap diri. Seperti: Iman, Fitnah, Abrar, Mallak
dan lain sebagainya.
Rasulullah pernah merubah nama “Murroh” menjadi Zaenab atau Juwairiyah. [6]
12. Dugaan sebagian orang “Semua perkara itu sudah ditakdirkan, maka kita tidak perlu berdo’a kepada Allah.”
Ini juga termasuk kesalahan yang menyebar di tengah umat. Perlu
diketahui bahwa do’a termasuk sebab, berdasarkan sabda Rasulullah.
لاَيَرُدُّ الْقَدَرَ إِلاَّ الدُّعَاءُ
Tidak ada yang bisa merubah takdir kecuali do’a. [Dihasankan oleh Al-Albani]
Maksudnya, bahwa do’a termasuk penyebab. Kadang-kadang Allah
menghindarkan musibah seseorang disebabkan do’a. Atau Allah memberikan
kebaikan anak dan rizki juga disebabkan do’a. Berdasarkan hadits dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tidaklah seorang hamba berdo’a, tidak meminta keburukan atau untuk
memutuskan tali silaturrahim kecuali Allah akan memberikan satu diantara
tiga hal. Yaitu dikabulkan doanya, atau Allah hindarkan dia dari
keburukan atau Allah simpan doanya di sisi Allah untuk dia. Mereka
berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak do’a” Rasulullah menjawab,
“Allah lebih memperbanyak (pengabulanNya).” [HR Tirmidzi]
Do’a merupakan ibadah dan kita diperintahkan untuk berdo’a. Do’a
merupakan sebab dari takdir dan sesungguhnya do’a juga sudah ditakdirkan
oleh Allah.
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dan Rabbmu berfirman, “Berdo'alah kepada-Ku,niscaya akan Ku-perkenankan
bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.
[Ghaafir : 60]
13. Jawaban seseorang ketika dilarang dari penyimpangan, ia menjawab,
“Karena kebanyakan orang melakukannya.” Jelas ini merupakan jawaban yang
tidak berdasar (hujjah) dan jauh dari kebenaran. Sebagaimana kita
saksikan bahwa kebanyakan orang pada zaman sekarang tidak memahami
syari’ah Islam serta banyak menyimpang dari Islam. Hal ini dipertegas
dengan firman Allah.
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya [Al-An’am: 116]
Ditambah lagi dengan sedikitnya Ahlus Sunnah dibandingkan dengan
banyaknya Ahlul bid’ah, belum lagi orang-orang kafir. Oleh karena itu,
wajib bagi kita mengikuti yang sedikit tetapi berada di atas kebenaran.
14. Sebagian orang menggantungkan tulisan yang berlafadz Allah dan
Muhammad secara sejajar di dinding-dinding rumah, papan-papan atau
kitab-kitab dan lainnya.
Hal ini termasuk larangan. Karena memiliki makna menjadikan tandingan
bagi Allah Azza wa Jalla. Lebih parah lagi, seandainya yang
menyaksikannya dari kalangan orang-orang awam yang tidak mengetahui
maknannya. Mereka menganggap bahwa, seolah ada kesejajaran kedudukan
antara Allah dan Muhammad. Perhatikanlah firman Allah.
فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. [Al-Baqarah: 22]
Dan jika lafadz Muhammad dihilangkan, maka tinggalah lafadz Allah saja.
Dan ini juga termasuk kesalahan. Karena lafadz Allah saja termasuk dari
dzikir sufiyah yang lazimnya, dengan mengucap ‘Allah…Allah…Allah’.
Oleh karenanya, selayaknya kita meninggalkan hal yang semacam ini
(menggantungkan lafadz semacam ini) . Hal ini belum pernah dicontohkan
oleh Salaf As-Shalih gRadhiyallahu 'anhum.
15. Persaksian ucapan dengan ‘Syahid’ terhadap orang yang meninggal di
jihad fisabilillah. Maka semacam ini termasuk kesalahan juga. Karena
hanya Allahlah yang mengetahui keadaan hati orang tersebut.
اللهُ أَعْلَمَ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
Allah yang lebih mengetahui terhadap orang-orang yang jihad fi
sabilillah. Kita tidak bisa mengetahui hakekat hati orang yang meninggal
tersebut. Apakah benar-benar ikhlas niatnya ataukah tidak ? Sehingga
masih berharap dunia. Atau apakah aqidahnya sudah lurus ataukah belum?
Selayaknya kita hanya mengatakan sebagaimana yang dikatakan Rasulullah n
secara umum,
مَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ الله أَوْ قُتِلَ فَهُوَ شَهِيْدٌ
Barangsiapa yang meninggal atau terbunuh di jalan Allah maka dia adalah syahid.
Oleh karena itu kita dilarang menetapkan seseorang tertentu yang
meninggal di jalan Allah dengan sebutan ‘syahid Fulan’, karena ta’yin
itu membutuhkan dalil. Jadi lafadz من menunjukkan keumuman, bukan ta’yin
(pengkhususan) terhadap seseorang tertentu. Sehingga selayaknya kita
mendoakan dengan mengatakan, “Semoga dia termasuk syahid”, bukan dengan
“syahid Fulan.”
16. Merasa ada keberuntungan atau kesialan berkaitan dengan mushaf (al-Qur’an).
Maksudnya, ketika membuka mushaf kemudian menjumpai ayat yang didalamnya
ada kebaikan, maka optimis mendapatkannya. Dan sebaliknya, ketika
membaca ayat yang didalamnya ada keburukan (adzab), maka merasa pesimis
terhindar darinya. Oleh karena itu para ulama melarang hal semacam ini.
17. Penulisan ص atau SAW untuk mempersingkat صلى الله عليه وسلم
Kalangan ulama musthalah hadits, melarang hal ini. Karena termasuk
menghilangkan pahala shalawat atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bagi seseorang. Dan seandainya saja seseorang menulis shalawat
secara lengkap, maka penulisnya akan mendapat pahala. Begitu pula
orang-orang yang membacanya.
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
Barangsiapa bershalawat kepadaku n satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali karenanya. [Abu Daud]
Maka tidak selayaknya bagi seorang muslim meninggalkan pahala yang besar
hanya karena untuk mempercepat dan mempersingkat tulisan.
18. Mengiringi doa dan masyi’ah (kehendak) seperti doa sebagian orang
“mudah-mudahan Allah merahmatimu, Insya Allah!” atau “semoga Allah
memberikan rizqi kepadamu, Insya Allah !”
Perhatikanlah dua contoh doa di atas sehingga nampak jelas. Maka doa
tersebut termasuk larangan jika dalam masyi’ah tersebut, kita bersikap
masa bodoh terhadap doa kita (dikabulkan atau tidak terserah Allah Azza
wa Jalla) tanpa adanya harapan. Berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu'laiahi wa asallam,
لاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ
Janganlah salah seorang dari kalian berkata-kata,”Ya Allah ampunilah aku
jika engkau berkehendak dan rahmatilah aku jika engkau berkehendak…”
[Bukhari kitab Ad-Da’awat 6339, Muslim Kitab Dzikir dan Do’a no. 2679].
Akan tetapi diperbolehkan berdo’a disertai masyi’ah ( khat ) dengan
syarat bertabaruk dan mengharapkan dengan sangat dikabulkan doanya.
19. Mencaci-Maki Syetan.
Hal ini juga termasuk larangan berdasarkan sabda Nabi n ,
لاَ تَسُبُّوْا الشَّيْطَانَ وَ تَعَوَّذُوْا بِاللهِ مِنْ شَرِّهِ
Janganlah kalian mencela syetan dan berlindunglah kepada Allah dari
keburukkannya. [As-Shahihah no. 2422 dikeluarkan Ad-Dalimi dan
selainnya]
Dan hadits yang lain.
عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ عَنْ رَجُلٍ قَالَ كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَثَرَتْ دَابَّةٌ فَقُلْتُ تَعِسَ
الشَّيْطَانُ فَقَالَ لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا
قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولُ
بِقُوَّتِي وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ
تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ
Dari Abu Malik, dari seorang laki-lak, dia berkata, “Aku membonceng
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka terantuklah tungganganya.”
Maka aku katakana, “Celakalah setan.” Maka beliau n bersabda,“Janganlah
engkau katakan ‘celaka setan’. Jika engkau mengatakan hal itu, setan
akan merasa dirinya besar sampai sebesar rumah dan dia akan berkata
‘dengan kekuatanku !’akan tetapi katakanlah,’Bismillah’. Maka jika
engkau katakan demikian, dia akan merasa kecil sekecil lalat.”
[Dikeluarkan Abu Daud, dan selainnya. Lihat Al-Kalam At-Thayib 237] [7]
Dan perlu diketahui bahwa pencelaan/pencacimakian kita terhadap setan
tidak berpengaruh sedikitpun terhadap keputusan Allah karena kita
mencaci atau tidak, syetan sudah dilaknat oleh Allah Azza wa Jalla.
20. Merasa akan mendapat sial pada bulan safar, dengan berkeyakinan akan
banyak terjadi “bala” sehingga menunda safar (berpergian), pernikahan
dan lain-lainnya. Perhatikanlah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
Tidak ada penyakit menular, tidak ada tathayur, tidak ada hammah tidak ada safar. [HR. Bukhari 5757, Muslim 2220]
Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan shafara adalah bulan safar.
Dan ini berdasarkan pendapat yang rajih. Oleh karena itu selayaknya
bagi kita memperlakukan bulan ini seperti bulan-bulan yang lain, tanpa
dihinggapi rasa khawatir dan dibayangi kesialan terhadap seseuatupun
yang akan terjadi.
Demikianlah duapuluh kesalahan dalam beraqidah yang telah menyebar dan
begitu populer di tengah umat. Pun masih banyak didapati
kesalahan-kesalahan aqidah yang lain. Semoga Allah senantiasa membimbing
kita, sehingga terhindar dari kesalahan-kesalahan tersebut. Amiin.
Wallahu ‘alam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VI/1423H/2002.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Disarikan dari kitab Akhta’un ‘Aqdiyah karya Syeikh Abdurrahman bin
Shalih Al-Mahmud dan kitab Alfazh Wa Mafahim karya Syeikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin disertai beberapa tambahan dari sumber lain oleh Abu
Ziyad Ibnu Sofwan – Al-Furqan Gresik
[2]. Lih. At-Tauhid oleh Shalih Fauzan hal. 42
[3]. Syarh Lum’atul I’tiqad hal. 89 oleh Syaikh Shalih al-Utsaimin
[4]. Untuk lebih jelas, lihat Syarh Lum’atul I’tiqad hal. 22 atau Al-Manahi Al-Syar’iyah hal 74 oleh Syeikh Salim Al-Hilali
[5]. Tentang celaan tidak hanya terbatas pada waktu saja, karena kita
juga dilarang mencela kendaraan, angin, ayam jantan dan penyakit panas.
Lihat Hashaidul Alsun hal. 156-159 oleh Husein Al-Uwaisyah
[6]. Llihat Fathul Baari no. 6192, Muslim 2140
[7]. Ucapan “Celakalah engkau syaitan!” memberikan kesan, bahwa setan
memiliki andil dalam suatu kejadian. Sehingga setan menjadi bangga
dengan hal itu. red
Tidak ada komentar:
Posting Komentar